Home / CITYLIFEMEDAN TODAY / Pengusaha Medan Memilih Hidup Mewah Ketimbang Sejahterakan Karyawan

Pengusaha Medan Memilih Hidup Mewah Ketimbang Sejahterakan Karyawan


MEDAN| Pengusaha di Medan cenderung memiliki budaya konsumtif dan memilih untuk bergaya hidup mewah ketimbang memperhatikan kesejahteraan karyawannya.

Ini diketahui dari hasil survei Manulife Investor Sentiment Index (MISI) dari Manulife Indonesia gelombang keempat. Hasil temuan tersebut menunjukkan, sebanyak 61 persen pengusaha di Medan sama sekali belum merencanakan masa pensiun.

“Jika pengusaha belum memikirkan bagaimana masa tuanya nanti, apalagi dia berpikir bagaimana mensejahteraan karyawannya,” ujar Rizanul, seorang jurnalis senior yang menjadi peserta diskusi.

Diskusi yang digelar Manulife Indonesia, Kamis (19/3/2015), tersebut menghadirkan kalangan jurnalis ekonomi dan sejumlah pemimpin redaksi media massa di Medan.

Pertemuan tersebut juga dihadiri Vice President and CEO Communications & Media Relations Manulife Kanada, Graeme Harris, Chief Clients Officer Novita J Rumngangun dan External Commication Manager Ruthania Martinelly.

Manulife ISI adalah riset berkala yang dilakukan Manulife untuk mengetahui karakteristik dan perilaku investor terhadap dunia usaha yang berkembang di Indonesia.
Untuk MISI keempat, survei dilakukan medio November-Desember 2014 degan melibatkan 500 responden.

Baca Juga:  LBH Medan: Sikap Kami Subjektif Membela Hak Pensiunan, Pensiun: SPP PTPN II Seharusnya Membela Kami

Untuk Medan, survei sebagian besar adalah para bisnis owner. Sementara sebagian responden lainnya karyawan dengan pendapatan di atas 2 juta/bulan.

“Hasil survei menunjukkan bahwa, 61 persen para bisnis owner cenderung untuk mempertahankan gaya hidup (24 persen), membeli barang mewah seperti mobil atau liburan ke luar negeri (17 persen) dan pendidikan anak (17 persen),” jelas Chief Employee Benefits PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, Nur Hasan Kurniawan dalam forum diskusi dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa di Medan, Kamis (18/3/2014).

Diakui Nur Hasan, secara statistik ketidaksiapan para pengusaha di Medan terhadap persiapan masa pensiun lebih tinggi daripada rata-rata pengusaha Jakarta dan Surabaya.
Untuk Medan, hanya 39 persen yang sudah memikirkan persiapan pensiun, sayangnya optimisme ini tidak didukung aksi nyata.

“Ini terjadi mungkin karena ketidaktahuan mereka, kurang paham dan atau tidak tertarik membeli program pensiun tambahan sebagai alternatif. Mereka terlalu mengandalkan tabungan untuk membiayai hidup mereka di hari tua,” kata Hasan.

Baca Juga:  Manulife Indonesia 38 Tahun: Hadirkan Program “Semakin Hari Semakin Baik

Padahal, sambung Nur Hasan, uang simpanan akan habis karena tergerus inflasi secara perlahan. Apalagi hanya mengandalkan warisan bukan hal tepat sebab ada unsur ketidakpastian, jelasnya.

Padahal, jelasnya, siapapun kita bakal pensiun. Pensiun tidak mengenal profesi atau bahkan pangkat dan jabatan. Karena pensiun berkaitan dengan waktu dan usia.

“Pensiun adalah masa dimana kita tidak bekerja lagi karena masa tugas sudah selesai. Tapi di masa pensiun atau tidak bekerja lagi, kita tetap harus membiayai hidup kita yang tersisa.

Nur Hasan memberikan contoh. Untuk mempertahankan “gaya hidup” yang sekarang di masa pensiun, setidaknya dibutuhkan dana 70% dari gaji terakhir yang kita miliki. Artinya, bila sebelum pensiun kita memiliki gaji terakhir Rp 10 juta, maka kita membutuhkan biaya Rp 7 juta di saat pensiun agar dapat “bertahan” dengan gaya hidup kita yang standar. Tidak berubah di saat sebelum pensiun atau sesudah pensiun.

Baca Juga:  Setiap Hari 500 WP di Sumut Ikut Program Tax Amnesty

“Pertanyaannya, dari mana dana 70% agar kita tetap bisa membiayai dan mempertahankan gaya hidup setelah pensiun?” urai pria yang disebut Nanang itu.

Menurutnya, tidak banyak orang Indonesia yang siap untuk memasuki masa pensiun. Masih banyak dari masyarakat Indonesia yang meremehkan masa pensiun.

Fakta pensiun di Indonesia, lanjut Nur Hasan, dari 63 juta pekerja di sektor informal, hanya 3,3 juta diantara yang yang memiliki program pensiun sesuai dengan undang-undang dana pensiun.

Bahkan hanya 13 juta orang yang terdaftar dalam BPJS Tenaga Kerja dari 63 juta pekerja sektor informal.

Sebab itu, Nur Hasan mengimbau, perencanaan masa pensiun jangan lagi dianggap remeh. Apalagi dari survei, pengeluaran terbesar saat pensiun adalah keperluan rumah tangga, biaya kesehatan dan membantu masa depan anak.

“Jadi jangan remehkan masa pensiun kita sendiri. Mantranya adalah, jangan gimana nanti? Tapi nanti gimana?” pungkas Nur Hasan Kurniawan. [ded]

Terkait


Berita Terbaru