Industri Dana Pensiun Minta Jaminan Pensiun Ditunda

JAKARTA | Industri dana pensiun (Perkumpulan DPLK dan ADPI) minta Jaminan Pensiun (JP) ditunda. Disamping menganggap bahwa iuran JP 8% yang akan diberlakukan 1 Juli 2015 adalah tidak wajar, besaran iuran itu sangat memberatkan pemberi kerja dan pekerja. Apalagi di tengah realitas penurunan kondisi ekonomi pasca kenaikan BBM dan gas yang belum stabil.
“Kami dari industri dana pensiun tegas menganggap iuran JP 8% terlalu dipaksakan. Akan berdampak buruk terhadap dunia usaha, termasuk industri dana pensiun. Sangat tidak wajar dan perllu ditinjau ulang,” ujar Nur Hasan Kurniawan, Wakil Ketua Umum Perkumpulan DPLK (Asosiasi DPLK Indonesia) dalam konfrensi persnya, Senin (20/4/2015).
Didampingi Suheri, Plt Ketua ADPI (Asosiasi DPPK Indonesia), Nur Hasan Kurniawan bilang, iuran JP yang 8% menjadi kontraproduktif terhadap penciptaan iklim usaha yang sehat. JP berbahaya bagi iklim usaha di masa datang. Industri dana pensiun menilai pemberlakuakn JP tergesa-gesa. Pemberi kerja akan semakin sulit mempertahankan bisnisnya karena beban atau cost pekerja semakin berat. Selain upah yang tiap tahun naik, JP semakin membebani pemberi kerja.
Untuk itu, industri dana pensiun merekomendasikan besaran iuran JP sekitar 2% saja. Dan dapat ditingkatkan secara bertahap dan tetap terjangkau. “Kita bercermin dari program Jaminan Hari Tua (JHT) yang 5,7% saja belum optimal, maka iuran JP sebaiknya mulai dari yang kecil. Asal spiritnya, kebutuhan Tingkat Penghasillan Pensiun (TPP) pekerja tetap terpenuhi. Lagi pula masih ada uang pesangon sesuai UU No. 13/2003 yang patut diperhitungkan,” tambah Nur Hasan Kurniawan.
Sebagai masukan kepada Pemerintah, industri dana pensiun mengambil tiga sikap tentang Jaminan Pensiun. Tiga hal tersebut, pertama, pemerintah lebih baik otimalkan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang sudah ada.
“Sejak tahun 1992, program JHT yang wajib baru diikuti 15 juta pekerja (24%) dari 63 juta pekerja formal. Jadi, program JP tidak genting untuk diterapkan,” jelas Nurhasan.
Poin kedua, lanjutnya, adalah iuran JP sekitar 2% saja dan meningkat bertahap. Karena bila diterapkan 8% terlalu berat sehingga ditambah JHT yang 5,7%, totalnya menjadi 13,7%. Kondisi ini dapat menyebabkan pemberi kerja “gulung tikar”. Karena dunia usaha membutuhkan kebijakan yang mendorong tumbuhnya industri dan bisnis, bukan malah “mematikan”.
“Ketiga, jaminan pensun sebaiknya ditunda. Karena akan memperburuk iklim usaha dan iklim kerja, termasuk mem-“begal” industri dana pensiun yang sudah ada saat ini,” tukas Nurhasan lagi.
Industri dana pensiun memandang masalah kesejahteraan pekerja sangat kompleks. Tidak hanya soal Jaminan Pensiun. Pemerintah tidak perlu melakukan monopoli jaminan pensiun. Apalagi dunia usaha pun sangat keberatan.
“Skema dan besaran iuran program JP 8% juga akan ‘mematikan’ industri dana pensiun. Seharusnya pemerintah juga memperhatikan hal ini. Urusan jaminan pensiun bukan hanya urusan negara tapi juga pemberi kerja dan pekerja. Dan harus sesuai dengan realitas ekonomi, di samping dampaknya terhadap dunia usaha,” tambah Suheri.
Seperti diketahui, industri dana pensiun (DPLK dan DPPK) saat ini mengelola aset lebih kurang Rp 191 triliun dengan sekitar 3,6 juta peserta. Industri dana pensiun menargetkan pertumbuhan bisnis di tahun 2015 ini bisa mencapai 20%.
“Kami tetap optimis dan terus berjuang untuk memberikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya program pensiun, termasuk pentingnya pendanaan pesangon. Kami membutuhkan kebijakan yang kondusif bagi semua pihak, bukan yang memberatkan dan menambah risiko yang tidak perlu,” pungkas Nur Hasan Kurniawan. [ded]
Bank DBS Indonesia dan Manulife Indonesia Luncurkan MiWISE, Solusi Perencanaan Legacy yang Fleksibel







