Jas Merah, Hindarkan Kota Medan Ditenggelamkan Banjir


Menghindari Medan ditenggelamkan banjir, jangan lupakan sejarah (Jas Merah) pengelolaan banjir berstandar eropa di Medan.
Sekurangnya ada 5 buku tentang sejarah banjir di Jakarta, satu level disertasi Dr Restu Gunawan, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. Ini memperlihatkan bahwa sejarah banjir sudah masuk ranah ilmu pengetahuan.
Medan sendiri saat hujan, makin hari makin banyak areal yang tenggelam. Tinggal tunggu waktu seluruh kota lumpuh tenggelam jika pengelolaan banjirnya masih tambal sulam dan musiman.
Selama ini Pemko Medan mengatasi masalah banjir tanpa mau belajar dari masa lalu pengeloaan banjir di Medan.
Saat Kota Medan didirikan, pindah dari Labuhan Deli ke kawasan sekitar Lapangan Merdeka akhir abad 19, salah satu alasannya adalah masalah banjir. Labuhan Deli tidak bisa dikembangkan sebagai kota moderen karena selalu dan terancam banjir.
Untuk itu Medan didirikan sebagai kota anti banjir dan dipilihlah lokasi yang berdekatan dengan dua alur sungai (Sei Deli dan Sei Babura) yang bisa mengurai banjir dengan cepat.
Para desainer awal kota Medan tidak mau mengulang Batavia yang evolusi kotanya selalu banjir sejak zaman J. Pieter J. Coon 1621.
Sebagai kota baru bergaya 100 persen peradaban kota Eropa maka Kota Medan sejak didirikan telah melibatkan ahli ahli pengelolaan banjir dari Belanda. Sepuluh tahun sejak Medan diresmikan sebagai kota (1 April 1909) Pemko Medan zaman Belanda ini dengan melibatkan berbagai pakar dari Eropa, telah memiliki dokumen pengelolaan banjir yang menakjubkan.
Medan tidak akan seperti Batavia, Medan kota anti banjir 200 tahun ke depan. Jalur-jalur riol berbagai ukuran dan diberbagai kedalaman seperti lorong-lorong rahasia dibangun di bawah tanah kota Medan.
Dalam dokumen di Belanda itu, saya lihat Medan dibagi dalam 4 sektor saluran pembuangan air, dengan berpuluh kilometer riol meliuk-liuk panjangnya, di desain sebelum kota lumpuh ditenggelamkan banjir.
Saya lihat riol-riol ini dibangun benar-benar dengan ilmu pengetahuan moderen lintas disiplin, menggunakan data curah hujan, debit sungai, topografi dan geologi tanah. Tidak hanya dikeluarkan biaya membangunnya yang besar, tapi saya lihat juga disiapkan dana jutaan guldenn untuk perawatan dan pengawasan yang serius dalam rangka menjadikan Medan kota anti banjir, Paris Van Sumatra.
Medan bukan dikelola oleh, dan dihuni mereka yang datang dari dan berselera kampungan. Ini kota moderen, dihuni oleh orang-orang moderen dari berbagai penjuru dunia. Banjir merupakan aib besar bagi kota ini, makanyalah mereka tak main-main dalam menciptakan Kota Medan sebagai kota moderen anti banjir. Itu dulu.
Sekarang, kita mengusulkan Pemerintah Kota Medan dapat kiranya belajar dan melihat kembali jaringan jaringan anti banjir ketika Medan didesain sebagai kota moderen berkelas Eropa.
BACA JUGA
Cerita Warga Labuhan Saat Eldin Diusir Korban Banjir di Komplek TKBM Sei Mati
Foto Pejabat Pemko Medan Naik Jet Pribadi Jadi Perbincangan
Apa yang masih bisa dimanfaatkan apa yang bisa dipelajari? (Termasuklah riol MUDP 1980-an?) Tapi saya yakin dokumen arsip penting kota ini 100 tahun yang lalu, Pemko Medan tak punya. Jangankan 100 tahun lalu, peta riol raksasa MUDP (Medan Urban Developmen Projek) tahun 1980 an saja Pemko tak bisa tunjukkan.
Teringatlah saya pada 2013 yang lalu ketika Walikota Rahudman Harahap saat banjir melanda, memanggil kepala dinas terkait, dan menanyakan mana peta lama riol raksasa MUDP. Dijawab, “gak ada, belum pernah lihat, nanti dicari”.
Saya pikir, jangan-jangan salah satu mulut riol raksasa MUDP itu ada di Sei Deli depan kantor Walikota, dan tak setetes air keluar dari situ saat Medan banjir.
Pada zaman Belanda ada Dewan Kota Medan yang benar berfungsi. Apa yang dilakukannya banyak dimuat dalam media Belanda yang terbit di Medan sebagaimana ditunjukkan teman saya sejarahwan Dirk Buiskol.
Dirk pun pernah saya undang beberapa kali ceramah di Unimed tentang tatakelola Kota Medan di masa Belanda. Sewaktu saya mengunjungi dan menginap di rumahnya di Belanda, getaran rasa kecewa Dirk atas pembangunan Medan tanpa perspektif historis itu sangat terasa.
Pak Walikota Dzulmi Eldin dan wakilnya Pak Nasution Akhyar, marilah kita manfaatkan data sejarah Medan yang kaya untuk mengatasi banjir ini. Medan bukan kota baru kemarin pagi dibangun.
[*Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed)]




