EDISIMEDAN.com, MEDAN – Reformasi hukum acara pidana di Indonesia memasuki babak penting dengan hadirnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 yang menggantikan KUHAP 1981 yang selama ini menjadi acuan nasional. Meskipun sejumlah regulasi sudah berupaya dalam menjamin perlindungan hak perempuan dan anak, data terbaru menunjukkan bahwa kelompok rentan ini masih kerap menjadi korban kekerasan dan sistem hukum yang belum sepenuhnya responsif.
Dalam catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sepanjang 2023, terdapat 2.078 kasus kekerasan seksual. Sementara itu, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menunjukkan bahwa 70% korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak. Hal ini menegaskan perlunya reformasi yang lebih mendalam dalam sistem hukum acara pidana, terutama dalam perlindungan hak perempuan dan anak.
Sebagai upaya untuk menelaah dan mendiskusikan sejauh mana RKUHAP 2025 mengakomodasi perlindungan hak-hak tersebut, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) menyelenggarakan Konferensi Nasional “Jaminan Perlindungan Hak Perempuan Dan Anak Dalam RKUHAP 2025” di Gedung Peradilan Semu, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Konferensi nasional ini turut melibatkan akademisi, praktisi hukum, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil untuk berdiskusi secara kritis dan konstruktif. Fokus utama adalah memastikan RKUHAP 2025 tidak hanya menjadi pembaruan prosedural, tetapi juga inkorporasi jaminan hak asasi manusia, khususnya perlindungan fisik, psikologis, dan hukum bagi perempuan dan anak sebagai kelompok rentan dalam sistem peradilan pidana.
“Dalam acara ini, PKPA berkolaborasi dengan ASPERHUPIKI, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Persada Academy untuk menghadirkan perspektif dari kelompok dampingan. Baik anak-anak dampingan PKPA maupun anak-anak dari keluarga survivor (anak yang orang tuanya menghadapi proses pemidanaan) telah kami ajak berkonsultasi untuk mendapatkan banyak cerita dan testimoni mengenai betapa sulitnya kehidupan mereka, bahkan sampai kehilangan hak-hak dasar akibat proses hukum yang dijalani orang tuanya. Sayangnya, kondisi tersebut juga tidak diiringi dengan pengasuhan alternatif, pemenuhan hak, maupun penguatan terhadap anak-anak itu sendiri. Oleh karena itu, kami mendorong agar forum ini tidak hanya menjadi ruang untuk membicarakan penegakan hukum, tetapi juga memperkuat sistem perlindungan anak serta mendorong lembaga pemerintah untuk memberikan perhatian lebih kepada anak-anak dalam situasi ini,” ujar Direktur Eksekutif PKPA Keumala Dewi saat ditemui dalam siaran persnya di Gedung Peradilan Semu, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada Selasa, (23/09).
Hal ini selaras dengan pernyataan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dr. Mahmul, S.H., M.Hum., yang menegaskan bahwa “hukum tidak hanya sebuah instrumen yang mengikat, tetapi juga harus mampu menegakkan keadilan dengan memanusiakan manusia.” Oleh karena itu, kegiatan ini menjadi penting sebagai ruang diskusi untuk merumuskan rekomendasi-rekomendasi positif bagi pembentukan hukum di Indonesia agar lebih adil, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat khususnya kelompok rentan.
Pada Konferensi Nasional ini turut dilaksanakan sesi Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU). MoU ini dilakukan antara ASPERHUPIKI, Fakultas Hukum Sumatera Utara, Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Indonesia, serta Persada Academy dalam rangka memperkuat kolaborasi dan implementasi perlindungan hak perempuan dan anak dalam konteks hukum acara pidana.
Konferensi ini menghadirkan berbagai narasumber ahli dan tokoh penting untuk membahas capaian serta tantangan perlindungan perempuan dan anak dalam RKUHAP yang baru. DIawali dengan penyampaian keynote speech dari Ketua Umum ASPERHUPIKI Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H., Ph.D., yang menegaskan pentingnya memperhatikan kerentanan dalam penegakan hukum yang diatur dalam RKUHAP. “RKUHAP harus mampu menjawab berbagai kekurangan yang selama ini membuat perempuan dan anak rentan menjadi korban diskriminasi dan kekerasan dalam sistem peradilan pidana,” ujarnya.
Saat ini, hukum di Indonesia masih cenderung berfokus pada penegakan hukum terhadap laki-laki tanpa memperhatikan hak-hak yang melekat pada tindak pidana yang dilakukan oleh perempuan yang seharusnya tidak boleh diabaikan. Padahal, hukum acara pidana sejatinya dirancang sebagai instrumen untuk membatasi kewenangan aparat agar terhindar dari abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) serta memastikan keadilan berjalan secara proporsional. Hal ini juga ditekankan oleh Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., M.A., yang menyampaikan bahwa “RKUHAP perlu penyempurnaan, khususnya terkait perlindungan anak dan perempuan. Meskipun, beberapa aspek sudah mulai mengakomodasi prinsip restorative justice.” Menurutnya, penyempurnaan ini sangat penting agar sistem peradilan pidana di Indonesia benar-benar responsif terhadap kelompok rentan dan tidak hanya menitikberatkan pada penghukuman semata, tetapi juga pada perlindungan dan pemulihan korban.
Sesi penyampaian materi terus berlanjut di mana para narasumber memberikan pandangan kritis dan rekomendasi konstruktif terkait RKUHAP 2025 dari berbagai perspektif. Dr. Nathalina Naibaho, S.H., M.H., menekankan pentingnya sinkronisasi regulasi agar perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar terjamin dalam praktik hukum acara pidana. Selanjutnya, Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., turut menyoroti berbagai hambatan dari aspek regulasi, sosial, struktural dan kultural yang masih menjadi kendala dalam memastikan keadilan dapat diakses oleh kelompok rentan.
Dari perspektif lembaga perlindungan anak, Direktur Eksekutif PKPA Keumala Dewi turut menyampaikan bahwa sistem peradilan pidana harus memberi ruang aman, mendengar suara anak, dan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Sesi paparan kemudian ditutup oleh Dr. Marlina, S.H., M.H., yang membahas secara komprehensif mengenai pendekatan diversi dan keadilan restoratif, agar proses hukum tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga memberikan pemulihan bagi korban khususnya perempuan dan anak yang terdampak.
Selain itu, Kompetisi Call for Poster juga diselenggarakan sebagai ruang ekspresi dan advokasi visual bagi generasi muda, akademisi dan masyarakat umum untuk menyuarakan isu perlindungan kelompok rentan dalam sistem hukum acara pidana. Kegiatan ini menjadi wadah untuk menuangkan ide-ide segar yang mendorong kesadaran hukum dan membangun perspektif yang lebih adil serta inklusif bagi perempuan dan anak.
Konferensi ini sejatinya menjadi langkah positif yang konkret dalam mendukung reformasi hukum acara pidana yang lebih berkeadilan dan humanis. Hasil serta rekomendasi yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi masukan penting bagi evaluasi dan penguatan RKUHAP 2025, demi terwujudnya pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang lebih baik di Indonesia. (red)