Polda Diduga Petieskan Kasus Perambahan Hutan Lindung di Labura

MEDAN| Puluhan perwakilan warga Kecamatan Kualah Tanjung Leidong, Labuhan Batu Utara mendatangi kantor Polisi Daerah Sumatera Utara (Poldasu) guna meminta ketegasan aparat penegak hukum dalam menindak oknum pengusaha perambah dan perusak Hutan Lindung didaerahnya.
Warga didampingi aktivis Hutan dan Lingkungan, M Daniel kepada wartawan, Selasa (5/8/2014) menyatakan, tindakan perambahan hutan itu dilakukan pengusaha yang bernama Along alias Jasman.
Pria keturunan itu saat ini telah merubah kurang lebih 2.500 hektar kawasan Hutan Lindung dikawasan tersebut menjadi perkebunan sawit.
“Perambahan hutan lindung di Tanjung Leidong Kabupaten Labura sepertinya kebal hukum, kami melihat indikasi pejabat dan pihak kepolisian daerah Polres Labuhan Batu menutup mata sehingga kasus ini sengaja tidak diselesaikannya, kasus ini sepertinya sudah dipetieskan sejak tahun 2006. Sampai saat ini pelaku perambah hutan lindung semakin merajalela, indikasi pelaku ALONG alias JASMAN keturunan cina, masih pelaku yang sama,” kata Daniel.
Dijelaskannya, berdasarkan analisis Keputusan Mentri Kehutanan RI nomor. SK.758/Menhut-III/2012 tentang Penetapan Kawasan Hutan Labuhan Batu, pelaku perambah tidak memiliki izin dalam mengelolah hutan lindung secara syah, apalagi kawasan Hutan Seluas ± 2500 hektar telah berubah fungsi menjadi lahan kelapa sawit.
Menurut Daniel, hal itu telah melanggar ketentuan UU Nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan serta perusakan hutan, pelaku telah melanggar pasal 11,12,13,14,17 dan 19. Dengan demikian seharusnya dikenakan sanksi hukuman pidana, sesuai pasal 83 paling lama 15 tahun penjara dan di denda paling banyak sebesar Rp 15 M.
Masih kata Daniel, sebenarnya berdasarkan subkordinat setelah di analisis tempat perkara tentang lokasi sengketa hutan lindung dikualuh leidong sangat berat, dilain hal kawasan dua desa dan satu kelurahan dan ibu kota kecamatan berada dalam kawasan hutan lindung, maka apapun bentuk surat kepemilikan lahan atau tapak rumah tingal masyarakat yang berada dalam kawasan hutan lindung itu tidak syah.
Tambah Daniel, memang pihak kepolisian pada tanggal 6 Nopember tahun 2006 lalu pernah melakukan Olah TKP di dalam kasus tersebut dan bahkan telah menemukan beberapa barang bukti sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan No Pol: Sprin/ 75/XI/ 2006. Dimana berdasarkan data yang terkumpul berkaitan Hutan Lindung tersebut masih belum ada ketentuan yang mengatur untuk dibebaskan dan dialihkan fungsikannya lahan Hutan Lindung itu menjadi lahan perkebunan sawit.
“Kami datang ke Poldasu dengan semua laporan lengkap kerusakan hutan lindung itu, dan kami meminta agar pihak kepolisian segera menindak dan menyelesaikan kasus tersebut demi penegakan supermasi hukum dan menangkap perambah hutan sejak tahun 2005-2014 karena sampai sekarang pelaku masih berkeliaran dilokasi dan belum ditangkap dan masih melakukan aktivitas perambahan hutan,” tegas Daniel.
Diterangkannya, lagi bahwa berdasarkan data dan pengaduan masyarakat, perambah makin merajalela bahkan sampai melakukan teror menggunakan tangan kananya melakukan itimidasi, penindasan dan kekarasan pada masyarakat di sekitar hutan lindung.
Senada dengan itu, pengamat lingkungan dari FIS North Sumatera, Budi AU menyatakan sebenarnya masalah sengketa Hutan Lindung di Sumatera Utara sudah dapat di identifikasi, karena persoalanya adalah mau tidaknya pemerintah untuk menjalankan UU dengan sesungguhnya.
“Sekarang Pemerintahan otonomi daerah semakin menambah data persoalan sengketa hutan lindung, hingga sampai saat ini semua persoalan hutan lindung di sumatera utara tidak ada yang dapat terselesaikan oleh hukum, hanya waktu yang menjawabnya, persoalan selesai karena munculnya kebijakan-kebijakan baru yang sebenarnya menambah persoalan sengketa hutan baru,”kata Budi Au.
Sehingga kata Budi AU, persoalan itu malahan menambah perambahan hutan lebih luas lagi dan bisa dianalisis bersama kalau pemerintah mau terbuka untuk membahas satu kepaduan hukum tentang kehutanan, bicara hutan berkaitan dengan kesejahteraan yang tentunya tidak menyesatkan defenisi arti serta tafsir UU kehutanan yang ada,” ujarnya. [reza|ray]






